Di era sekarang, semakin banyak orang yang menyadari pentingnya kesehatan mental, terutama dalam pekerjaan. Alhasil, work life balance pun menjadi mimpi banyak pekerja. Demi mencapainya, para pekerja lebih memilih bekerja sesuai job description, pulang tepat waktu, dan tidak lembur berlebihan. Namun, tahukah kamu kalau gaya bekerja seperti itu dikenal dengan istilah quiet quitting yang saat ini tengah ramai dibicarakan di media sosial.
Dimulai dari media sosial TikTok, fenomena quiet quitting pun tumbuh menjadi tren dan populer di kalangan generasi muda. Tidak seperti terjemahannya, fenomena ini bukan berarti seseorang berhenti dari pekerjaannya. Akan tetapi, tren kerja tidak berlebihan ini adalah fenomena bekerja sesuai porsi dan tidak overwork.
Tren quiet quitting berfokus memberi batasan dalam pekerjaan agar tidak membebani mental pekerja. Tren ini dianggap berdampak baik bagi kesehatan mental pekerja karena dapat menciptakan keseimbangan dalam karier dan kehidupan pribadi.
Setelah tahu makna quiet quitting, mari simak lebih jauh tentang fenomena ini, Sob!
Awal Mula Fenomena Quiet Quitting
Fenomena ini sebenarnya berawal dari pandemi COVID-19 yang membuat rutinitas bekerja beralih di dalam rumah. Selama masa pandemi, aktivitas bekerja terpaksa sepenuhnya dilakukan di rumah. Alhasil kehidupan pribadi pun tercampur dengan pekerjaan.

Tingginya frekuensi menatap layar laptop dan dibebani tugas meski sedang berada di rumah telah mencetuskan tren ini. Melansir dari The Hill, ada banyak pekerja di Amerika Serikat yang kesulitan memisahkan waktu pribadi dengan waktu bekerja.
Sistem work from home ternyata membuat batasan antara waktu bekerja dengan waktu istirahat semakin pudar. Masalah inilah yang membuat tren kerja quiet quitting banyak digagas dan diharapkan mampu membantu orang-orang menetapkan prioritas saat bekerja.
Alasan Melakukan Quiet Quitting
Lelah secara emosional dan prioritas yang tidak seimbang menjadi alasan utama dari munculnya fenomena quiet quitting. Melansir dari Heatlhline, psikolog dan konsultan kesejahteraan Lee Chambers berbagi perspektifnya tentang fenomena kerja biasa saja yang menurutnya adalah mekanisme koping.

Saat kita terlalu lelah bekerja dan mulai merasakan burnout, mekanisme koping digunakan untuk membantu kita mengatasi terjadinya demotivasi dalam bekerja. Mekanisme ini terjadi ketika motivasi kerja kita mulai menurun dan kita sadar akan terpuruk sehingga kita memilih untuk “berhenti”.
Bagi Tania Taylor, seorang psikoterapis sekaligus penulis, quiet quitting memastikan kita lebih sehat secara mental karena mampu memisahkan pekerjaan dengan keluarga. Taylor juga memandang tren ini ampuh meningkatkan produktivitas dan menciptakan quality time yang lebih banyak.
Memang ada banyak alasan yang logis untuk mengikuti tren quiet quitting, ya. Tidak hanya tentang kesehatan mental, budaya kerja ini juga dilakukan agar dapat menghabiskan waktu dengan keluarga dan lebih produktif karena sehat secara mental.
Ciri-ciri Quiet Quitting

Tanda seseorang melakukan quiet quitting tidak hanya sekadar menolak tugas di luar job description, lho. Menurut Paula Allen, Global Leader dan Senior Vice-President di LifeWorks, ada beberapa karakteristik yang mencirikan fenomena bekerja dengan batasan. Melansir Verywell Mind, inilah ciri-ciri yang diungkapkan Allen:
- Menolak mengerjakan tugas di luar job description.
- Selalu pulang tepat waktu sesuai jam kerja.
- Berusaha menyelesaikan pekerjaan di kantor.
- Tidak membalas pesan surel atau telepon di luar jam kerja.
- Tidak terlalu berambisi mencapai prestasi agar dipromosikan.
- Pekerjaan tidak memengaruhi emosional dan mental.
- Menghindari lembur di kantor.
Nah, itu dia beberapa ciri-ciri quiet quitting. Tren ini sangat berlawanan dengan budaya kerja yang sempat dijunjung tinggi oleh generasi muda, yaitu hustle culture. Budaya bekerja tidak berlebihan ini memang terkesan santai karena mementingkan kesehatan jasmani dan mental.
Namun, mungkin secara tidak sadar kamu ternyata sudah melakukan budaya kerja ini, lho, Sob. Bukan masalah jika selama ini kamu memiliki gaya kerja seperti ini asalkan tren kerja ini tidak membuatmu kehilangan motivasi kerja dan sikap profesional.
Dampak Positif dan Negatif
Budaya kerja quiet quitting memang mampu menjaga keseimbangan mentalmu, Sob. Gaya kerja ini membantu kita mengatur waktu bekerja yang efisien, menciptakan peluang quality time, dan meningkatkan produktivitas karena kesehatan mental akan terjaga. Lewat tren kerja ini, kamu juga bisa memisahkan prioritas dalam pekerjaan dan kehidupan.
Namun, kamu juga perlu berhati-hati agar budaya kerja biasa saja yang kamu terapkan tidak disalahpahami oleh rekan-rekan kerja. Kamu perlu tahu batasan antara work life balance dengan bekerja ala kadarnya. Quiet quitting bukan berarti kamu boleh bekerja asal-asalan, Sob. Inti dari budaya kerja ini adalah prioritas. Jadi, kamu tidak hanya mengutamakan pekerjaan, tetapi juga memperhatikan kesehatan mental dan kehidupan pribadimu.
Penulis: Gheani Kirani B.T
Referensi:
Foto:
Nataliya Vaitkevich. Pexels.com.
Malte Helmhold. Unsplash.com.
Mateus Campos Felipe. Unsplash.com.
Victoria Heath. Unsplash.com.
Ini cukup relate sama gw wkwkwk. Kalo udah jam 5, kadang kerjaan belum selesai karena gak keburu. Tapi yaudah, langsung siap² rapiin meja, pulang WKWKWKWK.