/Review Film Budi Pekerti: Sisi Kelam Media Sosial yang Mengerikan
Review film Budi Pekerti yang tayang 2 November 2023.

Review Film Budi Pekerti: Sisi Kelam Media Sosial yang Mengerikan

Film Budi Pekerti yang menarik perhatian publik karena menerima 17 nominasi dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2023 akan tayang perdana di seluruh bioskop tanah air pada 2 November mendatang. Karya teranyar dari sutradara Wregas Bhanuteja ini menyoroti isu nyata yang merebak di era digital.

Sebagai karya yang mengangkat isu sosial dan keluarga, Budi Pekerti menjadi angin segar bagi industri perfilman Indonesia yang terkenal dengan film horor. Namun, tidak sekadar mengangkat premis yang unik, film yang diproduksi oleh Rekata Studio dan Kaninga Pictures ini juga sarat dengan pesan moral.

Antusias publik terhadap Budi Pekerti kian besar karena sejumlah artis papan atas tanah air turut memeriahkan film ini, seperti Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda, dan Prilly Latuconsina. Ekspektasi terhadap kualitas Budi Pekerti kian bertambah karena film ini sudah tayang di Festival Film Internasional Toronto pada 9 September 2023.

Jadi, tak heran kalau film Budi Pekerti mendapat sorotan dari masyarakat, ya, Sob. Nah, kalau kamu penasaran dengan film ini, simak dulu sinopsis dan review filmnya di bawah ini!

Sinopsis Film Budi Pekerti (2023)

Film berdurasi sekitar 110 menit ini mengangkat fenomena sosial yang sering kita lihat di media sosial. Kisahnya mengikuti seorang guru BK SMP bernama Prani (She Ine Febriyanti) yang menjalani kehidupan harmonis bersama suami dan dua anaknya. Namun, permasalahan ekonomi datang saat bisnis suaminya, Didit (Dwi Sasono) bangkrut gara-gara pandemi.

Sejak bisnisnya bangkrut, Didit mengalami masalah kesehatan mental dan akhirnya terdiagnosis mengidap gangguan bipolar. Biaya perawatan psikis yang tidak murah membuat Prani kesulitan. Namun, ia tetap berdedikasi pada pekerjaannya sebagai guru BK, bahkan Prani dikenal karena didikannya yang berkualitas.

Ulasan dan sinopsis film Budi Pekerti (2023) yang dibintangi Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Prilly Latuconsina, dan Angga Yunanda.
Sumber: Instagram (filmbudipekerti)

Di tengah masalah finansial dan rumah kontrakan yang berusaha ia pertahankan, Prani terseret dalam jebakan media sosial. Prani tertangkap kamera sedang meluapkan protesnya pada seseorang yang menyela antrean di lapak kue putu. Rekaman dari orang-orang di pasar langsung tersebar di media sosial dan menghancurkan reputasi Prani. Dengan status guru yang disandangnya, warganet menilai Prani tak pantas marah-marah dan berkata kasar.

Padahal Prani tidak berkata kasar dan kesalahan yang ia perbuat berbeda dengan yang diceritakan di media sosial. Namun, warganet menghakiminya dan lebih percaya dengan video amatir tersebut. Kejadian viral ini juga membuat Prani terancam kehilangan pekerjaannya yang menjadi sisa harapan di tengah kesulitan finansial.

Tak mau hancur, Prani berusaha memperbaiki nama baiknya dibantu dua anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda). Tita aktif bermusik di band dan memulai usaha kecil untuk membantu ekonomi keluarga. Begitu pula dengan Muklas yang bekerja keras menjadi influencer dan konten kreator.

Namun, perjuangan Prani dan anak-anaknya harus menghadapi jalan yang terjal. Meski sudah berjuang memulihkan reputasinya, hujatan dan konflik terus menghambat usaha Prani.

Budi Pekerti Soroti Fenomena Sosial yang Jarang Dikritisi

Film Budi Pekerti menyoroti efek domino media sosial yang mengerikan bagi “korban” seperti Prani. Hanya dengan rekaman amatir yang dipublikasikan di media sosial, citra Prani seketika hancur. Padahal warganet tidak tahu kebenaran di balik video yang viral itu. Namun, banyak orang di media sosial yang merasa berhak menghakimi perbuatan Prani.

Film Budi Pekerti (2023) menceritakan kisah Prani, guru BK dan sosok ibu yang berjuang membersihkan reputasinya setelah videonya viral.
Sumber: Instagram (filmbudipekerti)

Di sisi lain, para pengunjung pasar melanggar privasi Prani dengan merekamnya tanpa perizinan. Efek domino ini menjadi parah karena warganet langsung percaya dengan kejadian yang viral tanpa mencoba mencari kebenarannya.

Fenomena sosial ini bukan hal asing bagi kita, ya, Sob. Di era digital seperti sekarang, masyarakat semakin bebas merekam aktivitas orang lain tanpa izin. Lalu, membuat narasi sendiri hanya berdasarkan asumsi si perekam dan mengunggahnya ke media sosial.

Fenomena yang dialami oleh Prani dan dua anaknya ini menjadi gambaran nyata kehidupan sosial yang mengerikan. Sayangnya isu sosial ini belum banyak dikritisi, bahkan makin banyak kasus viral dari rekaman video amatir. Namun, film Budi Pekerti berhasil membingkai isu ini dalam kisah keluarga yang hangat dan penuh konflik.

Kebebasan Menjadikan Orang Lain Sebagai Bahan Konten

Di era digital yang kacau ini, tanpa sadar kamu bisa dijadikan bahan konten oleh orang lain yang merekam kamu diam-diam. Saat Gala Premiere di Plaza Senayan pada Senin (30/10), sutradara Wregas menyampaikan ide di balik premis film garapannya.

Wregas mengungkapkan keresahannya terhadap orang-orang yang membuat meme, parodi, dan konten bermuatan hujatan dari video yang viral. Sisi kelam media sosial ini dikupas tuntas dalam film Budi Pekerti melalui kisah Prani.

Realita, Kesehatan Mental, dan Prasangka di Media Sosial

Budi Pekerti memang kaya akan kritik, fenomena sosial, isu kesehatan mental, dan realita kehidupan, tetapi film ini tetap nyaman dinikmati. Meski premisnya cukup berat dengan perpaduan plot cerita dan konflik yang menyayat hati. Namun, film ini tetap menunjukkan sisi humanis dari keluarga Prani.

Review film Budi Pekerti dan pesan moral tentang media sosial yang diceritakan di filmnya.
Sumber: Instagram (filmbudipekerti)

Prani digambarkan bagai sosok “ibu” yang berjuang seorang diri untuk keluarga yang harus berbagi peran di pekerjaan dan rumah tangga. Sementara sosok Didit merepresentasikan para pejuang dan penyintas kesehatan mental yang bergelut dengan stigma negatif masyarakat. Biaya pengobatan yang mahal dan kesungguhan Prani merawat Didit menyampaikan pesan bahwa penyakit mental itu nyata.

Di sisi lain, pekerjaan yang ditekuni Tita dan Muklas menggambarkan realita bahwa anak-anak kerap menjadi korban badai ekonomi. Pesan moral tentang prasangka yang mudah terjadi di media sosial juga menyadarkan kita bahwa segala sesuatu yang diunggah di ruang maya bukan sepenuhnya kebenaran.

Meski terlihat sederhana, tapi film ini mengemas banyak potret kehidupan di dalamnya. Jadi, kalau kamu menyukai film humanis tentang realita dalam keluarga dan isu sosial yang kuat maka film ini cocok buat kamu, Sob!

Penulis: Gheani Kirani B.T

Referensi:

Kompas.tv

Foto:

Instagram (@filmbudipekerti)