/Pulau Sumba: Keunikan Penduduk dan Tradisi Pasola

Pulau Sumba: Keunikan Penduduk dan Tradisi Pasola

Sumba merupakan salah satu pulau yang terletak di bagian selatan Indonesia yang sangat terkenal akan keindahan alam, adat istiadat serta budayanya. Namanya trending dan menjadi salah satu destinasi favorit bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Lalu bagaimanakah dengan penduduk asli Sumba?

Di Sumba, penduduk ditentukan oleh marga yang dia miliki saat lahir (sama dengan ayahnya). Ketika seorang gadis menikah kemudian dia bergabung dengan marga suaminya. Anggota satu marga biasanya disebar ke sejumlah desa dan rumah yang ditempati oleh orang-orang yang hanya satu marga.

Warisan Budaya di Kodi, Sumba

Keunikan tradisi pasola di pulau Sumba.
Rumah adat Sumba

Kodi merupakan salah satu daerah di Sumba yang memiliki warisan dari para ibu (walla). Itu menyandang nama nenek moyang dan dikaitkan dengan beberapa karakteristik pribadi dan terkadang pengetahuan yang bersifat rahasia seperti jamu, trik pewarnaan nila, dan ilmu hitam. Walla sering membawa asosiasi yang tidak menyenangkan dan sering dirahasiakan (tetapi dibahas dalam konteks negosiasi pernikahan)

Lingkungan yang familiar di Sumba adalah wilayah kebudayaan mereka. Di wilayah tengah ada Kepala Desa, lalu desa-desa besar (artinya pemukiman itu berisi rumah leluhur, yaitu rumah asli marga sebagai tempat menyimpan pusaka), lalu desa-desa kecil lalu dataran yang tak berpenghuni.

Masyarakat Sumba membedakan dua jenis rumah mereka: rumah dengan Menara segitiga yang dibangun di tengah atap (disebut uma mbatangu dalam dialek Rindi) dan rumah biasa (juga disebut rumah botak, (disebut uma kamudungu dalam Rindi). Sebagai aturan, rumah dengan puncak adalah rumah marapu (mereka tidak hanya menampung keluarga tetapi Roh leluhurnya (marapu) yang tinggal di puncak). Tetapi ada beberapa pengecualian dan rumah botak dapat dianggap marapu, sedangkam keluarga kaya dapat tinggal di rumah berpuncak tanpa kekhususan ritual.

Kepala desa di Sumba biasanya terletak di lokasi yang tinggi dan terpencil untuk melindungi diri dari musuh. Ada juga yang dibentengi dengan dinding batu dan pagar tanaman kaktus. Kepala desa (seperti Sodan di Lamboya, Praiyawang di Rindi) adalah tempat perlindungan jika terjadi serangan, tetapi juga sebagai pusat wilayah keagamaan.

Sejak Belanda mengakhiri peperangan internal pada awal abad ke-20, beberapa desa sebagian ditinggalkan untuk membangun pemukiman baru yang lebih dekat dengan ladang dan sumber air di Ubewe (Wanokaka).

Seperti apakah ciri khas masyarakat Sumba?

Secara tradisional, usia tidak pernah mereka catat dalam bentuk tahun. Orang-orang dimasukkan ke dalam kategori sosial tertentu berdasarkan kapasitas pencapaian mereka, tak melihat usia. Misalnya untuk anak-anak, kemampuan untuk duduk, kemudian berjalan dan akhirnya naik kuda. Lalu menikah dan memiliki anak. Bagi orang tua, ada istilah untuk merujuk di mana seseorang kehilangan gigi dan harus menggunakan makhluk hidup untuk menghancurkan sirih dan pinang.

Tradisi unik yang ada di pulau Sumba.

Di Sumba, gigi hitam dianggap menarik, gigi putih dan panjang adalah tanda penyihir yang memiliki kekuatan jahat sangat liar. Pria muda mulai mengunyah secara teratur setelah sunat dan wanita ketika mereka mencapai pubertas. Pada saat itu, mereka diberi tas sirih untuk anak laki-laki dan keranjang sirih untuk anak perempuan. Barang-barang ini harus dibawa kapan saja ketika mereka meninggalkan desa. Seorang pria dewasa, dan juga wanita pada beberapa kesempatan yang sangat formal, harus membawa parang atau pisau. Dengan wadah sirih dan bilahnya, seseorang yang jauh dari rumah dianggap berpakaian tidak pantas.

Orang-orang yang berusia tua menggunakan tato di Sumba. Umumnya, tato mereka menggambarkan hewan. Menurut masyarakat Sumba, tato dianggap bisa menjadi api di tanah ketika diperlukan oleh seseorang yang sudah mati.

Selain dari keunikan masyarakat Sumba, ternyata di Sumba juga ada tradisi yang tidak kalah menarik, yaitu Tradisi Pasola.

Tradisi Adat Pasola

Menurut legenda, “Pasola” berasal dari sebuah desa di Waiwuang. Saat itu pemimpin desa meninggalkan desa dan keluarganya untuk bertugas dalam waktu yang cukup lama. Karena kesendiriannya, istrinyapun jatuh cinta dengan pria dari desa lain. Setelah lama tak kembali, istri menduga bahwa suaminya telah meninggal. Ternyata, suami yang dianggap telah meninggal kembali ke Waiwuang, sang istri memutuskan untuk tinggal dengan cinta barunya yang akhirnya mereka menikah. Mengetahui kejadian tersebut, pemimpin kembali ke desa dalam keadaan patah hati. Lalu penduduk desa Waiwuang mengadakan festival untuk membantu pemimpin mereka agar melupakan kesedihannya, sehingga lahirlah Tradisi adat Pasola ini.

Tradisi adat pasola di pulau Sumba yang unik.
Sumber: floresexotictours.id

Namun ada juga yang mengatakan bahwa Festival Pasola adalah salah satu tradisi yang diajarkan oleh nenek moyang mereka selama berabad-abad. Festival ini berupa upacara ritual perang kuno. Meskipun Sumba diidentifikasi selama berabad-abad sebagai sumber cendana, budak, suku kanibal dan kuda.

Festival Pasola telah membantu mengubah persepsi orang dan memberikan popularitas pulau tersebut. Istilah Pasola berasal dari kata “sula”, yang pada dasarnya menggambarkan tombak kayu panjang dalam bahasa setempat. Dimainkan oleh orang Sumba barat di Lamboya dan Kodi, dua kelompok lawan yang terdiri dari sekitar 50 pria dari desa, marga dan suku yang berbeda melemparkan tombak kayu ke lawan mereka sambil menunggang kuda.

Para peserta adalah pria Sumba mengenakan seragam tradisional yang sangat terampil dan berani. Dilakukan dengan cara peserta menunggang kuda yang saling menyerang, sambil mencoba menghindar dan memukul lawan dengan lembing pasol. Tujuan dari upacara adalah menumpahkan darah ke tanah sebagai rasa berterima kasih kepada leluhur atas panen yang sukses dan sejahtera. Namun, ritual itu berubah seiring waktu. Ujung tombak sekarang tumpul dan ujung logamnya dilepas.

Pelaksanaan Tradisi Pasola

Sumber: gettyimages.com

Puncak festival dimulai beberapa hari setelah bulan purnama. Itu bertepatan dengan kedatangan tahunan Nyale, cacing laut beraneka warna dan jarang dari mereka yang menandai kapan dimulainya tradisi ini. Namun, Rato menentukan tanggal pasti upacara tersebut. Seorang pemimpin pendeta tradisional, ia mengumumkan pelaksanaan tradisi pada dua minggu sebelum dimulai.

Tradisi seperti Pasola tidak hanya menjadi acara yang unik dan mempesona. Tetapi juga melestarikan ikatan antara keluarga modern dan leluhur mereka.

Wah, keren sekali ya, Sob! Ternyata Sumba tidak hanya punya wisata yang cantik, tetapi juga memiliki budaya yang unik. Siapa nih yang mau ambil bagian dalam ritual perang? Gimana, Sob? Sudah tertarik dengan pulau di Nusa Tenggara ini? Yuk, liburan di Sumba!