Akhir-akhir ini dunia maya lagi dihebohkan sama sebuah riset yang menyatakan kalau 2,45 juta remaja di Indonesia mengidap gangguan jiwa. Mungkin berita ini juga pernah lewat di beranda media sosial kamu, ya, Sob. Mungkin kamu merasa relate dengan isu ini karena pernah mengalaminya atau malah lagi merasakannya.
Nyatanya gangguan jiwa bukan masalah yang bisa disepelekan. Namun, isu kesehatan mental masih tabu untuk dibicarakan meski sudah mendapat perhatian. Jadi, tidak heran kalau studi The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan angka remaja pengidap gangguan jiwa yang sangat mengejutkan.
Penelitian yang dilakukan pakar kesehatan masyarakat UGM bersama University of Queensland dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health AS menghasilkan data bahwa 5,5 persen remaja didiagnosis menderita gangguan jiwa. Hasil penelitian ini mengacu pada buku Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) yang diterbitkan oleh American Psychological Association (APA).
Masih dari riset yang sama, sekitar 3,7 persen di Indonesia terdiagnosis mengidap gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Usut punya usut, ternyata kata “anxiety” masuk dalam daftar sepuluh istilah yang paling banyak dicari di Google tahun ini, lho. Hm, data ini sudah menunjukkan kalau banyak pengguna internet yang resah dengan kondisi pikiran dan mentalnya, ya, Sob.
Saat menyoroti isu ini, mungkin kamu akan bertanya-tanya mengapa kondisi ini bisa terjadi. Sebenarnya ada banyak faktor dan alasan yang dapat memicu terganggunya kesehatan mental. Tentunya faktor yang menyebabkan gangguan itu berbeda untuk setiap orang.
Lantas, apa saja faktor dan alasan itu jika dilihat dari sudut pandang remaja, kondisi lingkungan, dan penjelasan medis, ya?
Mengapa Kondisi Ini Bisa Terjadi?

Pandemi Covid-19 memberi tekanan yang luar biasa dalam diri remaja. Seperti yang kita sama-sama tahu, situasi pandemi membuat banyak remaja terkurung di rumah dan sulit berkontak fisik dengan teman sebayanya. Ruang sosialisasi dibatasi dan anak-anak muda bisa dikatakan kehilangan kebebasan untuk mengekspresikan diri di luar rumah.
Kestabilan finansial pun goyah selama masa pandemi. Di tengah keadaan yang rumit, anak-anak muda merasa tertekan dari berbagai sisi. Mereka harus belajar dan mengerjakan tugas, tetapi kesulitan mendapat akses hiburan. Perasaan negatif pun bermunculan, seperti kesepian dan kecemasan.
Apakah kamu pernah merasakan perasaan negatif itu, Sob?
Sama halnya jika dilihat dari kondisi lingkungan semasa pandemi. Ketika wabah virus masih melanda dunia, kita pasti sering menonton pemberitaan yang menyedihkan di televisi. Tidak jarang kita mendengar berita kematian dan terguncangnya ekonomi negara. Tanpa kita sadari, konsumsi terhadap kabar-kabar negatif ini memunculkan perasaan takut. Pandangan kita turut terpengaruh, bisa menjadi lebih negatif atau malah pesimis.
Meski begitu, masih ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi kesehatan mental anak-anak muda. Bisa dari keadaan keluarga yang memburuk selama pandemi atau kesulitan beradaptasi dengan sistem belajar online.

Penyebab Gangguan Jiwa pada Remaja Indonesia
Umumnya gangguan jiwa yang timbul akibat pandemi adalah masalah kecemasan, seperti anxiety dan fobia sosial. Hal ini dibuktikan oleh riset peneliti UGM yang menyatakan kalau remaja berusia 10 hingga 17 tahun paling banyak mengalami kecemasan. Studi yang disingkat I-NAMHS ini juga menyimpulkan adanya gangguan jiwa lainnya, seperti depresi mayor (1,0 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), gangguan PTSD atau stress pascatrauma (0,5 persen), dan gangguan ADHD atau masalah pemusatan perhatian (0,5 persen).
Menurut kacamata medis, berbagai gangguan jiwa yang menyerang remaja ini bisa berasal dari banyak faktor. Mulai dari genetik, pengaruh keluarga, dan lingkungan tempat tinggal. Studi I-NAMHS mengerucutkan faktor penyebab gangguan jiwa ke dalam empat hal yang dievaluasi. Pertama, konflik dengan anggota keluarga. Kedua, hubungan yang buruk dengan teman. Ketiga, stress karena tugas dan prestasi di studi. Keempat, reaksi emosional akibat tekanan mental.
Kesimpulan ini juga berkaitan dengan penelitian Terri Barrera dan Peter Norton dari University of Houston di AS yang menyebutkan kalau kualitas hidup mempengaruhi mental seseorang. Kepuasan terhadap kondisi finansial, hubungan percintaan, dan kepercayaan diri yang buruk akan menurunkan kualitas hidup kita.
Mungkin saat ini kamu lagi merasa nggak puas sama pencapaian hidup kamu, entah di aspek pendidikan atau keluarga. Namun, perlu diingat kalau perasaan tertekan dan kecewa ini perlu diatasi dengan baik agar tidak mengguncang mental kamu, Sob. Pertanyaannya, apa yang harus kamu lakukan?
Apa yang Harus Kita Lakukan?

Gangguan jiwa bukan masalah yang sanggup kita hadapi sendirian. Meski informasi seputar kesehatan mental dapat ditemukan di internet, tetapi masalah ini perlu ditangani oleh ahli. Sayangnya hanya 2,6 persen remaja yang menggunakan layanan konsultasi kejiwaan selama 12 bulan terakhir, lho. Fakta ini disampaikan tim peneliti dalam studi I-NAMHS dan semestinya menjadi peringatan bagi kita.
Mengapa masih banyak remaja yang tidak pergi ke psikolog dan psikiater? Kalau kita menerima pertanyaan ini, pasti kita teringat pandangan buruk orang-orang terhadap pengidap gangguan mental. Bukan fenomena yang aneh memang. Ada pemikiran kalau orang yang mendatangi psikolog atau psikiater berarti punya gangguan jiwa alias gila.
Nyatanya, stigma seperti itu sama sekali tidak benar. Melakukan konsultasi kejiwaan dan menerima perawatan mental adalah hal yang wajar. Manusia menghadapi pasang surut di kehidupan yang sulit ini, jadi kesehatan mental seharusnya menjadi isu yang penting. Jangan sampai kita memilih self diagnosis ketimbang memeriksakan masalah kita ke ahli kejiwaan.
Apakah kamu pernah mendiagnosis kondisi mentalmu hanya bermodalkan informasi di internet? Kalau pernah atau malah sering, lebih baik segera hentikan. Artikel kesehatan yang kamu baca hanya menyediakan informasi. Perkara diagnosis berdasarkan gejala yang kamu rasakan, itu sudah urusan para ahli.
Masalah kesehatan mental di Indonesia masih butuh perhatian khusus. Selagi para ahli dan tim peneliti berusaha membenahi masalah ini, kita bisa mulai dari diri sendiri. Menjadi lebih peduli pada isu mental health dan membantu menyadarkan masyarakat adalah langkah awal yang bisa kita ambil.
Penulis: Gheani Kirani B.T
Referensi:
CNN. 2022. Studi: 2,45 Juta Remaja Indonesia Kena Gangguan Jiwa. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20221212142530-255-886337/studi-245-juta-remaja-indonesia-kena-gangguan-jiwa.
The Conversation. 2022. Riset: sebanyak 2,45 juta remaja di Indonesia tergolong sebagai Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). https://theconversation.com/riset-sebanyak-2-45-juta-remaja-di-indonesia-tergolong-sebagai-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj-191960
Times Indonesia. 2022. Waduh, Peneliti UGM Sebut 2,45 Juta Remaja Indonesia Terindikasi Alami Gangguan Jiwa. https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/432338/waduh-peneliti-ugm-sebut-245-juta-remaja-indonesia-terindikasi-alami-gangguan-jiwa
Foto:
IMDb
Netflix